oleh : Cahya Herwening
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang kaya akan simbol-simbol pengajaran tentang kehidupan. Mulai dari bahasanya, kesusasteraannya, unen-unennya, tembangnya, dan sebagainya. Aksara Jawa pun ternyata tak lepas dari berbagai filosofi. Misalnya, rangkaian aksara legena (dua puluh huruf/aksara yang tidak diberi sandhangan) itu menceritakan kisah dua orang utusan Prabu Ajisaka yang sangat setia dan amanah. Namun penulis tidak akan berbicara tentang hal ini.
Hal yang ingin penulis bicarakan adalah sesuatu yang pernah disampaikan kakak penulis. Yaitu tentang filosofi aksara Jawa yang bila diberi sandhangan pangkon (pangku) akan mati (tidak berbunyi atau menjadi huruf konsonan). Bagi yang belum tahu tentang aksara Jawa, pembaca bisa melihat gambar dua puluh aksara legena di atas. Aksara “pa” bila diberi pangkon akan menjadi “p” saja. Aturan penggunaannya, pangkon hanya boleh digunakan di akhir kalimat, kecuali kalau di tengah kalimat ada dua huruf mati (konsonan). Fungsi mematikan huruf jika di tengah kalimat sudah digantikan oleh pasangan.
Rumus “mati yen dipangku” ternyata tidak hanya berlaku untuk aksara Jawa, namun juga untuk orang Jawa. “Wong Jawa bakal mati yen dipangku” agaknya terjadi dalam kehidupan mereka, khususnya bagi yang masih memegang teguh tradisi Jawa. Mungkin tidak berlaku secara keseluruhan untuk semua orang Jawa, karena di zaman sekarang ini sudah banyak yang tidak memegang tradisi Jawa. Wong Jawa ilang jawane. Kacang lupa pada kulitnya.
Orang Jawa adalah orang yang tahu diri. Mereka sangat menghargai kebaikan dan budi baik orang lain. Tidak mungkin, haram hukumnya bagi orang Jawa kabecikan winales kadurakan, air susu dibalas dengan air tuba. Coba saja bila pembaca punya tetangga orang Jawa, kasihlah dia sesuatu, misalnya oleh-oleh, makanan yang barusan dimasak, buah-buahan yang dipanen dari pekarangan, dan sebagainya. Pasti dia akan berusaha pula untuk membalas memberi di lain hari atau pada kesempatan yang lain.
Sehingga, bisa dikatakan cukup mudah untuk ‘mematikan’ (menaklukkan) orang Jawa itu. Kita tinggal ‘memangku’ mereka sehingga mereka menjadi ‘mati’. Kata ‘memangku’ tersebut tentu bukan bermakna denotatif (makna sebenarnya), namun konotatif (kiasan). Jadi bukan memangku betulan, namun dengan cara bersikap baik kepada mereka, memberi kebaikan, membantu/menolong, memberikan hadiah, menyantuni dan sebagainya. Maka mereka akan ‘mati’ dalam artian jinak, tidak melawan, segan, atau bahkan mbangun turut dan membalas kebaikan kita karena sudah merasa berutang budi. Begitu pula apabila ada orang yang berbuat tidak baik kepada kita, kita balas dengan kebaikan, niscaya dia akan mati kutu. 🙂
Begitulah sekelumit paparan tentang salah satu filosofi dari aksara Jawa, yang mungkin bisa kita jadikan referensi dalam bermasyarakat. Tentu filosofi itu tidak harus berlaku kepada seluruhnya, akan tetapi tetap sesuai situasi dan kondisi. Hehehe. Artikel yang berkaitan dengan hal ini bisa dibaca di sini dan di sini. [ ]
Sumber gambar carakan : yogas09.student.ipb.ac.id
suka 🙂
^_^ alhamdulillaah
bagusssss….ditunggu filosofi lainnya…
Terima kasih mas Wadi 🙂
Yuk kita gali bersama filosofi2 milik bangsa Indonesia ^^
Bener Banget Mas… Begitu dalam nya falsafah hidup jawa yang saat ini sudah mulai di lupakan, sehingga wong jawa ilang jawane..
salam santun Jual Senapan Angin Gejluk Dual Power
Salam santun.. makasih atas kunjungannya Bang