oleh: Cahya Herwening
Berhubung beberapa hari ini di Jogja baru ada momen IBF (Islamic Book Fair), penulis jadi ingat deh sama uneg-uneg yang dulu pernah muncul terkait dengan acara tersebut. Uneg-uneg muncul dikarenakan oleh kondisi yang ada selama acara, berbanding dengan nama acaranya. Dan bisa dilihat dari judul di atas, pertanyaan yang muncul dalam benak penulis terhadap acara pameran buku Islam adalah, yang manakah yang Islami, book-nyaataukah fair-nya? Bukunya ataukah pamerannya?
Jika yang disebut Islami adalah buku-bukunya, apakah benar semua buku yang dipamerkan di sana itu Islami? Sudahkah dicek satu-persatu? Hal itu perlu dikonfirmasi karena penulis pernah menemukan buku-buku berbau paham liberal, kiri atau paham lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam pada suatu pameran buku Islami. Janggal rasanya, pameran buku Islam kok ada buku-buku seperti itu? Nah jika nama acaranya saja pameran buku Islam, bukankah harusnya bisa dipastikan bahwa buku-buku yang dipamerkan di sana buku-buku yang sesuai nilai-nilai Islam (Islami)? Buku umum (misalnya buku pelajaran, buku pengetahuan atau ketrampilan) pun, bisa juga kok disebut Islami, asal tidak bertentangan dengan Islam. Toh Rasulullah saw. pernah bersabda : “Hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Di manapun ia menemukannya, maka ia yang paling berhak mengambilnya.” Jadi sebenarnya semua ilmu pengetahuan itu Islami sejauh tidak bertentangan dengan nilai Islam. Sehingga tidak mengapa bila ada buku-buku umum (non agama) asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sedangkan bila yang disebut Islami adalah pamerannya, pertanyaan yang sama dengan yang pertama juga akan terlontar, apakah pamerannya sudah Islami? Mari kita ingat-ingat, ketika di bookfair, tidak ada hijab yang membatasi antara laki-laki dan perempuan. Antar lawan jenis bisa dengan bebas memandang bahkan mungkin bisa menghitung jumlah jerawat orang yang dipandangnya =D. Lalu, sering sekali tidak ada jarak aman antara lawan jenis, terlebih lagi jika pengunjung sedang padat. Senggolan satu sama lain pun dapat terjadi. Nah, yang seperti itu kan kurang (jika tidak boleh dikatakan tidak) Islami? Di situ kan terjadi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, betul? Jika belum tahu apa itu ikhtilat, silakan search di internet insya Allah ada banyak informasi. Lalu, mana nih yang Islami? Buku-bukunya ataukah pamerannya? Bingung kan?
Bila yang dipermasalahkan adalah tentang isi acaranya, bookfair kok ada stand kuliner dan pakaian juga? Berarti bukan bookfair dong namanya? Kalau menurut pandangan pribadi, hal itu bukan masalah karena ditujukan agar pelayanan makin lengkap. Coba, kalau tidak ada stand makanan, jika merasa lapar masak mau makan buku? Hehehe…
Membaca tulisan ini, mungkin ada di antara pembaca yang nggrundel, “itu penulisnya nulis-nulis itu tapi kok masih datang di bookfair?”. Ya penulis memang penulis rutin (hampir selalu) menghadiri acara ini dan biasanya borong buku. Boleh kan? Hehehe. Yang jelas penulis bukannya bermaksud apa-apa selain untuk mengkritisi fenomena ini dan berharap agar ke depannya bisa lebih baik. Sampai saat ini, penulis rasa banyak manfaat positif dari acara ini, karena acara ini dapat ikut memperluas ilmu dan wawasan tentang keislaman kepada masyarakat melalui buku-buku yang dipamerkan (dan mereka beli serta mereka baca) atau melalui acara pendukungnya seperti kajian, tabligh akbar, talkshow, diskusi, bedah buku dan sebagainya. Wallaahu a’lam.
iya juga ya pak..
hmm, tak forward ah ke syaaka organizer.. 🙂
Emang iya, dari dulu 😛
Eh… klo diforward nanti ada yg marah gak ya? 😛
betul betul betul